Pendahuluan
Pasar saham Asia saat ini sedang menghadapi tantangan yang signifikan minggu ini, dipicu oleh ketidakpastian seputar keputusan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) dan pernyataan bank sentral lainnya. Meskipun pasar Asia secara umum mengalami penurunan, Indeks Harga Saham Gabungan Indonesia (IHSG) menampilkan gambaran yang berbeda, menunjukkan ketahanan yang luar biasa.
Perhatian: Pasar Asia yang Merosot
Saat para investor di seluruh Asia bersiap menghadapi keputusan kebijakan moneter yang akan datang dari Federal Reserve Amerika Serikat, pasar saham Asia mengalami penurunan. Ketidakpastian ini wajar, mengingat dampak potensialnya terhadap pasar keuangan global. Sentimen ini tercermin dalam mayoritas pasar saham Asia yang telah menunjukkan penurunan dalam beberapa hari terakhir.
Data dari Bloomberg menunjukkan bahwa pasar Asia telah menghadapi tantangan, dengan semua sektor berada dalam wilayah negatif. Selain itu, kontrak berjangka untuk saham-saham AS tetap datar di Asia, mengikuti performa yang lebih lemah dari S&P 500.
Di beberapa wilayah tertentu, seperti Hong Kong dan China, saham-saham mengalami tekanan, terutama akibat penurunan sektor keuangan. Bank-bank sentral China telah menjaga tingkat suku bunga utama pinjaman mereka tetap tidak berubah, mengikuti keputusan bank sentral pekan lalu untuk menjaga tingkat suku bunga kebijakan tetap stabil.
Minat: Ketahanan Tak Terduga IHSG
Namun, di tengah ketidakpastian yang menggelayuti pasar Asia saat ini, IHSG Indonesia menunjukkan ketahanan yang tak terduga. Selama sesi perdagangan pertama pada Rabu, 20 September 2023, IHSG mengalami kenaikan yang mengesankan sebesar 0,74%, setara dengan 51,84 poin, mencapai level 7.032,16. Perlu dicatat bahwa dari saham-saham yang diperdagangkan, 291 mengalami kenaikan, 232 mengalami kerugian, dan 208 tetap stagnan.
Sepanjang sesi perdagangan awal, IHSG berfluktuasi dalam kisaran 6.988,92 hingga 7.073,06, menunjukkan kinerja yang kuat. Kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia mencapai Rp10.413,53 triliun.
Kontras antara tren pasar Asia secara umum dan kekuatan IHSG adalah perkembangan yang menarik yang memerlukan pemeriksaan lebih mendalam.
Keinginan: Memahami Faktor-faktor di Balik Ketahanan IHSG
Pertanyaan yang ada di pikiran semua orang adalah, faktor-faktor apa yang berkontribusi pada ketahanan IHSG di tengah ketidakpastian pasar saat ini?
Salah satu faktor kunci adalah kehadiran keputusan FOMC yang akan datang dan ketidakpastian yang menyertainya. Sikap berhati-hati yang diambil oleh investor dalam antisipasi pengumuman ini telah memberikan tekanan pada pasar Asia. Selain itu, ketiadaan pengumuman stimulus lebih lanjut dari Tiongkok telah menambah kekhawatiran pasar.
Charu Chanana, seorang ahli strategi pasar di Saxo Capital Markets, menekankan, “Risiko peristiwa dari FOMC The Fed dan keputusan bank sentral lainnya yang dijadwalkan minggu ini telah membuat pasar Asia menjadi suram, dengan kurangnya pengumuman stimulus lebih lanjut dari Tiongkok juga berperan sebagai kendala.”
Selain itu, penurunan harga minyak adalah faktor lain yang berkontribusi pada kehati-hatian pasar. Meskipun harga minyak mentah mendekati level tertinggi dalam satu dekade, bank sentral di seluruh dunia harus berurusan dengan kompleksitas mengatasi inflasi, yang secara bersamaan mengancam pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Australia dan Selandia Baru adalah perkembangan yang patut dicermati. Hal ini mencerminkan pergerakan imbal hasil obligasi pemerintah dengan tenor lima dan sepuluh tahun yang mencapai level tertinggi sejak tahun 2007 pada hari Selasa.
Aksi: Langkah-Langkah IHSG ke Depan
Ketika kita melihat ke depan, penting untuk tetap memantau keputusan kebijakan moneter Federal Reserve. Meskipun Ketua Jerome Powell dan rekan-rekannya diperkirakan akan menjaga tingkat suku bunga, tantangannya adalah bagaimana mengatasi potensi goncangan pasokan, seperti kenaikan harga minyak, yang secara bersamaan dapat meningkatkan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Penting untuk diingat bahwa lonjakan biaya energi memainkan peran penting dalam mendorong Amerika Serikat ke dalam resesi pada pertengahan tahun 1970-an, serta awal tahun 1980-an dan 1990-an.
Selain dari harapan-harapan yang hawkish terhadap The Fed, para investor akan memantau dengan cermat proyeksi suku bunga triwulanan terbaru dari The Fed, yang dikenal sebagai dot plot. Proyeksi ini akan dirilis pada akhir pertemuan kebijakan.
Kathryn Rooney Vera, Kepala Strategi Pasar di StoneX, menekankan, “Untuk benar-benar mengembalikan inflasi ke target 2 persen pada tahun 2024, The Fed setidaknya harus mempertahankan tingkat suku bunga saat ini untuk jangka waktu yang lebih lama daripada melakukan pemotongan suku bunga.”
Sebagai kesimpulan, sementara pasar Asia tampak suram dalam bayangan keputusan FOMC, IHSG Indonesia menjadi tanda kekuatan. Performa yang berbeda ini mencerminkan kompleksitas faktor-faktor ekonomi global yang sedang bermain, dan sebagai investor, tetap waspada dan selalu terinformasi tetap menjadi hal utama dalam menghadapi masa-masa yang penuh ketidakpastian ini.