Harga minyak mentah dunia mencatat kenaikan signifikan setelah laporan dari CNN menyebutkan adanya informasi intelijen terbaru Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa Israel tengah bersiap melakukan serangan potensial terhadap fasilitas nuklir Iran. Minyak mentah Brent melonjak 1,7% sebagai respons terhadap berita ini, memperkuat sentimen risiko dan menambah tekanan pada dolar AS yang terus mengalami pelemahan.
Meskipun belum ada keputusan final dari pihak Israel untuk melancarkan serangan, laporan tersebut cukup untuk mengguncang pasar global dan memicu perpindahan aset ke instrumen yang dianggap lebih aman. Hal ini terlihat dari kenaikan nilai franc Swiss dan yen Jepang — dua mata uang yang secara historis dipandang sebagai safe haven dalam situasi geopolitik yang tegang.
Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang bertenor sangat panjang mengalami penurunan setelah lonjakan tajam pada hari sebelumnya, sementara imbal hasil obligasi Treasury AS 30 tahun bertahan di sekitar 5%. Di sisi lain, indeks saham berjangka S&P 500 dan Nasdaq 100 terkoreksi sebesar 0,3%. Namun, saham Asia justru menguat 0,7% karena investor mulai mengantisipasi kemungkinan pelonggaran moneter oleh bank sentral di tengah pelemahan dolar dan suku bunga yang lebih rendah.
Ketegangan geopolitik yang meningkat ini menjadi hambatan tambahan bagi pasar keuangan yang baru saja mulai stabil setelah sebulan terakhir dilanda kekacauan akibat kebijakan tarif dari Presiden AS, Donald Trump. Para investor kini mengamati dengan cermat apakah reli saham global baru-baru ini memiliki fondasi yang cukup kuat untuk bertahan, sementara Federal Reserve menunggu data ekonomi yang lebih jelas sebelum mengambil keputusan terkait pemangkasan suku bunga.
Joe Little, Kepala Strategi Global di HSBC Asset Management Hong Kong, mengatakan, “Sebagian besar investor profesional masih cukup berhati-hati, dan saya pikir itu wajar mengingat ketidakpastian ekonomi dan kebijakan yang sangat tinggi saat ini.” Ia menambahkan bahwa volatilitas harga minyak yang terjadi sejak pekan lalu sebagian besar dipicu oleh kabar simpang siur terkait negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat, yang apabila berhasil dapat membuka kembali pasokan minyak tambahan ke pasar global yang diproyeksikan kelebihan suplai di akhir tahun ini.
Rencana serangan Israel berpotensi menggagalkan kemajuan dalam negosiasi tersebut dan memperburuk instabilitas di kawasan Timur Tengah, yang merupakan sumber sepertiga pasokan minyak dunia. Ketegangan ini juga telah menyebabkan investor menjual dolar dan membeli yen, mencerminkan pergeseran preferensi aset global ke arah instrumen yang lebih defensif.
“Jelas bahwa dolar AS telah kehilangan statusnya sebagai satu-satunya aset safe haven yang tak tergoyahkan,” ungkap Richard Franulovich, Kepala Strategi FX di Westpac Banking Corp. Menurutnya, ketegangan geopolitik seperti ini akan semakin mendorong investor untuk beralih ke mata uang alternatif seperti yen dan franc Swiss.
Di sisi lain, pelemahan dolar dan potensi penurunan suku bunga menjadi katalis positif bagi saham-saham di Asia. Strategi dari Morgan Stanley menyebutkan bahwa kondisi ini mendukung momentum kenaikan pasar regional, yang tercermin dalam kenaikan 0,6% pada indeks Morgan Stanley Asia Pacific. Saham-saham teknologi seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Co. serta institusi keuangan seperti Mizuho Financial Group Inc. menjadi penopang utama penguatan indeks tersebut.
Dengan latar belakang dinamika geopolitik yang memanas, fluktuasi harga minyak diperkirakan akan terus berlanjut. Pelaku pasar kini memantau dengan ketat setiap perkembangan dari kawasan Timur Tengah, yang tidak hanya berdampak pada pasokan energi global, tetapi juga menggeser arah investasi di pasar keuangan internasional.