Harga minyak mentah kembali turun setelah seminggu penuh gejolak, seiring perhatian pasar global tertuju pada potensi keterlibatan Presiden Donald Trump dalam konflik antara Israel dan Iran. Kekhawatiran geopolitik yang memuncak menjadikan pasar semakin sensitif terhadap setiap perkembangan di Timur Tengah.
Brent crude sempat merosot ke kisaran $76 per barel, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) mendekati $75. Selama sepekan terakhir, harga minyak bergerak liar dalam rentang sekitar $8, menunjukkan peningkatan volatilitas, lonjakan minat pada opsi bullish, serta pelebaran spread backwardation yang signifikan — sebuah indikasi bahwa pasar memperkirakan keketatan pasokan jangka pendek.
Di balik fluktuasi ini, laporan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pejabat tinggi AS sedang bersiap menghadapi kemungkinan serangan terhadap Iran dalam beberapa hari mendatang. Meski demikian, situasinya masih sangat cair dan bisa berubah sewaktu-waktu. Presiden Trump sendiri baru saja mengadakan pertemuan dengan para penasihat utamanya, namun Gedung Putih belum memberikan arah kebijakan yang jelas.
Ketika ditanya apakah ia akan membombardir Iran, Trump menjawab singkat, “Mungkin saya lakukan, mungkin tidak.” Menurut laporan The Wall Street Journal, Presiden sebenarnya telah menyetujui rencana serangan militer pada awal pekan, tetapi menahan persetujuan akhir sambil menunggu apakah Iran akan memenuhi tuntutan tertentu dari AS.
Pusat perhatian pasar minyak adalah Selat Hormuz — jalur laut sempit di pintu masuk Teluk Persia yang menjadi titik transit sekitar 20% produksi minyak dunia. Hingga saat ini, belum ada indikasi bahwa Teheran mencoba mengganggu lalu lintas pengiriman minyak di wilayah tersebut. Namun, Mike Sommers, Presiden American Petroleum Institute, memperingatkan bahwa dunia seharusnya tetap waspada. “Kami belum melihat potensi itu saat ini, tetapi mengingat kondisi Iran yang sangat rapuh, semua pihak perlu memberi perhatian khusus pada Selat Hormuz,” ujarnya dalam wawancara dengan Bloomberg TV.
Bank investasi Goldman Sachs memperkirakan ada premi risiko geopolitik sekitar $10 per barel untuk harga Brent akibat konflik yang terus memanas. Namun dalam skenario dasarnya, bank ini memproyeksikan harga minyak akan turun ke kisaran $60 pada kuartal keempat, dengan asumsi tidak ada gangguan pasokan signifikan. “Situasi politik sangat tegang, dan belum ada tanda-tanda pelonggaran,” ujar Gao Jian, analis dari Qisheng Futures yang berbasis di Shandong.
Pasar kini tampaknya mulai memasuki fase konsolidasi harga tinggi, sembari menunggu kepastian lebih lanjut terkait perkembangan di Timur Tengah. Di sisi fundamental, data terbaru menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS turun drastis sebanyak 11,5 juta barel dalam seminggu terakhir — penurunan terbesar dalam hampir satu tahun. Stok di pusat penyimpanan utama di Cushing, Oklahoma, juga berkurang, sementara cadangan bensin justru meningkat.
Untuk pengiriman bulan Agustus, Brent turun 0,3% menjadi $76,50 per barel pada pukul 12:20 siang waktu Singapura, setelah sebelumnya naik tipis 0,3% pada Rabu. WTI kontrak Juli, yang akan jatuh tempo pada Jumat, hampir tidak berubah di level $75,10. Sementara itu, kontrak WTI yang lebih aktif untuk bulan Agustus turun 0,1% menjadi $73,43 per barel.
Ketegangan geopolitik dan fluktuasi pasar ini menjadi pengingat bahwa harga minyak tidak hanya ditentukan oleh penawaran dan permintaan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian politik global. Para pelaku pasar kini menanti kepastian: akankah Trump menarik pelatuk, atau memilih jalur diplomasi?